Makna Bulan Muharram
Oleh: Syaikh
Muhammad Shalih Munajjid -hafizhahullah-
Alih bahasa: Ustadz Abu Abdillah Ahmad Zain, Lc
Alih bahasa: Ustadz Abu Abdillah Ahmad Zain, Lc
Segala puji milik Allah Rabb semesta alam,
semoga shalawat dan salam selalu terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam, kepada para kerabat dan para shahabat beliau
seluruhnya, wa ba’du;
Sesungguhnya bulan Allah bulan al Muharram
adalah bulan yang agung dan penuh berkah, ia adalah bulan yang pertama dalam
setahun dan salah satu dari bulan-bulan suci yang mana Allah berfirman
tentangnya:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ
عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً
كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
[التوبة : 36]
Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi
Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit
dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus,
Maka janganlah kamu menzhalimi diri kamu dalam bulan yang empat itu…” (QS. at
Taubah: 36)
Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu
bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ
شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ
وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى
وَشَعْبَانَ
Artinya: “Satu tahun ada 12 bulan darinya ada 4
bulan suci: 3 bulan secara berurutan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan bulan
Rajab Mudhar antara bulan Jumada dan bulan Sya’ban”. Hadits riwayat Bukhari,
no.2958.
Dan bulan Muharram dinamakan demikian karena keberadaannya sebagai bulan suci dan sebagai penegasan akan kesuciannya. Dan firman Allah Ta’ala:
Dan bulan Muharram dinamakan demikian karena keberadaannya sebagai bulan suci dan sebagai penegasan akan kesuciannya. Dan firman Allah Ta’ala:
فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ
أَنْفُسَكُمْ
Artinya: “…Maka janganlah kamu menzhalimi diri
kamu…”
Maksudnya adalah jangan berbuat zhalim di
bulan-bulan yang suci ini karena berbuat zhalim di dalamnya lebih ditekankan
dan lebih ditegaskan akan dosa dari bulan-bulan lainnya.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma tentang tafsir firman Allah Ta’ala:
فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ
أَنْفُسَكُمْ
Artinya: “…Maka janganlah kamu menzhalimi diri
kamu…”
“Maksudnya jangan berbuat zhalim di setiap bulan
darinya, tetapi dikhususkan darinya 4 bulan maka Allah menjadikannya (4 bulan
tadi) suci, mengagungkan kehormatan-kehormatannya dan menjadikan dosa di dalamnya
berlipat dan amal shalih pahalanya di dalamnya lebih besar (dibanding dengan
bulan-bulan lainnya).
Qatadah rahimahullah berkata ketika menafsirkan
ayat;
فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ
أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya berbuat zhalim di bulan-bulan suci
lebih besar kesalahan dan dosanya daripada berbuat zhalim di selainnya,
walaupun suatu kezhaliman apapun bentuknya merupakan dosa besar tetapi Allah
Ta’ala mengagungkan suatu perkara sesuai dengan kehendaknya”.
Beliau juga berkata: “Sesungguhnya Allah memilih
yang suci dari makhluqnya; seperti Ia memilih para malaikat sebagai utusan dan
memilih dari manusia sebagai rasul, memilih dari firman-Nya untuk
mengingat-Nya, memilih bumi dijadikan sebagai masjid-masjid, memilih dari
bulan-bulan bulan Ramadhan dan bulan-bulan yang suci, memilih dari hari-hari
hari Jum’at, memilih dari beberapa malam malam qadar, maka agungkanlah apa yang
diagungkan oleh Allah Ta’ala. Sungguh dimuliakannya beberapa perkara karena
pengagungan Allah terhadapnya, dan hal ini bagi orang-orang yang diberi
kepahaman dan akal”. (diringkas dari tafsir Ibnu katsir, tafsir surat at Taubah
ayat 36).
Keutamaan memperbanyak puasa sunnah pada waktu
bulan Muharram
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ
رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ. (رواه مسلم:1982)
Artinya: “Puasa yang paling utama setelah puasa
bulan Ramadhan adalah puasa bulan Allah yaitu bulan Muharram.” (Hadits riwayat
Muslim, no. 1982)
Sabda beliau: ” شَهْرُ اللَّهِ” digandengkan bulan ini
kepada Allah Ta’ala sebagai penggandengan pengagungan, Al Qari rahimahullah
berkata: “Bahwa maksudnya adalah seluruh hari pada bulan Muharram.”
Tetapi telah shahih riwayat bahwasanya Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berpuasa satu bulan penuh
selain bulan Ramadhan, maka hadits ini dianggap sebagai pemotivasi untuk
memperbanyak puasa pada bulan Muharram bukan untuk berpuasa satu bulan penuh.
Dan telah benar riwayat bahwasanya Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban, hal ini
mungkin belum diwahyukan kepada beliau tentang keutamaan bulan Muharram kecuali
pada akhir hayat beliau sebelum bisa mengerjakan puasa tersebut… (lihat kitab
Al Minhaj; Penjelasan an Nawawi terhadap kitab Shahih Muslim)
Allah memilih sesuatu dengan kehendak-Nya baik
dari zaman atau tempat
Al ‘Izz Bin Abdus Salam rahimahullah berkata:
“Dan pengutamaan antara tempat dan zaman, ada dua macam, yang pertama:
berdasarkan dunia… dan yang kedua: pengutamaan berdasarkan agama, hal ini
kembali kepada bahwa Allah Ta’ala memberikan kemurahan di dalamnya kepada
hamba-Nya dengan mengutamakan pahala orang-orang yang mengerjakannya, seperti
pengutamaan pahala puasa Ramadhan atas puasa seluruh bulan, dan demikian pula
hari ‘Asyura-’… maka kemuliaan di dalamnya kembali kepada kemurahan dan
kebaikan Allah ta’ala kepada para hamba-Nya… (lihat kitab Qawa’idul Ahkam 1/37)
‘Asyura-’ ditilik dari sejarah
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا
قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ
مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ
فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ. (رواه البخاري:1865)
Artinya: “Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu,
beliau berkata: “Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah sampai
di kota Madinah, beliaupun melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari
‘Asyura-’, maka beliau bertanya: “Ada apa dengan hari ini?”, mereka menjawab:
“Ini adalah hari yang baik, hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari
musuh mereka maka Nabi Musapun berpuasa pada hari itu”, Nabipun bersabda:
“Kalau begitu aku lebih berhak (mengikuti) Musa daripada kalian, beliaupun
berpuasa dan memerintahkan ( kaum muslimin ) untuk berpuasa”. (Hadits riwayat
Imam Bukhari, no.1865)
Maksud sabda beliau: هَذَا
يَوْمٌ صَالِح,
didalam riwayat Imam Muslim terdapat penjelasan:
هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى
اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ
مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. (رواه مسلم)
Artinya: “Ini adalah hari yang agung, Allah
Ta’ala telah menyelamatkan pada hari ini Nabi Musa ‘alaihissalam dan kaumnya
dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya, maka Nabi Musapun ‘alaihissalam
berpuasa karenanya sebagai tanda syukur maka kamipun berpuasa pada hari ini.”
Dan di riwayatkan oleh Imam Ahmad dengan
tambahan lafadz:
وَهَذَا يَوْمُ اسْتَوَتْ فِيهِ
السَّفِينَةُ عَلَى الْجُودِيِّ فَصَامَهُ نُوحٌ وَمُوسَى شُكْرًا.
Artinya: “Ini adalah hari dimana berlabuhnya
kapal (Nabi Nuh ‘alaihissalam)diatas bukit Judi (Bukit Judi terletak di Armenia
sebelah selatan, berbatasan udengan Mesopotamia-pent), lalu Nabi Nuh
‘alaihissalam dan Musa berpuasa
karenanya sebagai tanda syukur.”
Hadits : “وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ” (dan beliaupun
shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa karenanya), di dalam
riwayat al Bukhari rahimahullah juga terdapat lafadz:
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ
فَصُومُوا. (رواه البخاري)
Artinya: “Maka Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam berkata kepada para shahabatnya: “Kalian lebih berhak untuk mengikuti Nabi
Musa ‘alaihissalam daripada mereka”. (Hadits riwayat Bukhari)
Dan berpuasa pada hari ‘Asyura-’ telah dikenal
dari mulai zaman jahiliyah sebelum zaman kenabian (Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam), telah benar riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu, beliau
berkata: “Sesungguhnya orang-orang jahiliyah senantiasa berpuasa pada hari
itu…”,
Al Qurthuby rahimahullah berkata: “Kemungkinan
orang-orang Quraisy menyandarkan dalam puasanya kepada ajaran orang-orang
terdahulu seperti Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Dan telah shahih juga riwayat
yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa
karenanya di kota Makkah sebelum hijrah ke Madinah, ketika beliau hijrah ke
kota Madinah beliau mendapatkan orang-orang Yahudi memperingatinya lalu beliau
bertanya kepada mereka tentang sebab dan merekapun menjawabnya sebagaimana yang
sudah disebutkan di dalam hadits diatas. Dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam memerintahkan untuk menyelisihi mereka di dalam peringatan mereka
sebagai hari raya sebagaimana telah diriwayatkan dalam hadits Abu Musa
‘alaihissalam, beliau bersabda:
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ
تَعُدُّهُ الْيَهُودُ عِيدًا فَصُومُوهُ أَنْتُمْ. رواه البخاري
Artinya: “Hari ‘Asyura-’ dulunya dianggap oleh
orang yahudi sebagai hari raya maka hendaklah kalian berpuasa pada hari itu”.
Di dalam riwayat Imam Muslim rahimahullah:
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ
يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا. رواه مسلم
Artinya: “Hari ‘Asyura-’ adalah hari yang
diagungkan orang yahudi dan mereka menjadikannya hari raya”.
Di dalam riwayat yang lain milik beliau juga:
كَانَ أَهْلُ خَيْبَرَ
يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ يَتَّخِذُونَهُ عِيدًا وَيُلْبِسُونَ نِسَاءَهُمْ
فِيهِ حُلِيَّهُمْ وَشَارَتَهُمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَصُومُوهُ أَنْتُمْ. رواه مسلم
Artinya: “Penduduk Khaibar (dan mereka pada
waktu itu orang-orang Yahudi-pent) berpuasa pada hari ‘asyura-’ dan selalu
menjadikannya sebagai hari raya, mereka menghiasi wanita-wanita mereka dengan
emas dan perhiasan mereka, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Maka berpuasalah kalian pada hari itu”. (Hadits riwayat Muslim)
Dan yang terlihat dari perintah untuk berpuasa
adalah keinginan untuk menyelisihi orang-orang Yahudi sehingga berpuasa ketika
mereka berbuka, karena hari raya tidak boleh berpuasa (di dalamnya-pent).
(diringkas dari perkataan Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitab Fathul Bari
Syarah Shahih Bukhari)
Keutamaan Berpuasa Hari
‘Asyura-’
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا
الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ . (رواه
البخاري )
Artinya: “Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
beliau berkata: “Tidak pernah Aku melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam begitu bersemangat puasa pada suatu hari, ia utamakan dari yang
lainnya kecuali hari ini yaitu hari ‘Asyura-’ dan bulan ini yakni bulan
Ramadhan”. (Hadits riwayat Bukhari, no. 1867)
Dan Makna “yataharra” adalah bertekad untuk
berpuasa pada hari itu agar mendapatkan ganjarannya dan bersemangat untuk
mengerjakannya.
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ
أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ. (رواه مسلم
:1976)
Artinya: “Berpuasa pada hari ‘Asyura-’ aku
berharap kepada Allah agar menghapuskan (dosa) tahun yang sebelumnya”. (Hadits
riwayat Muslim, no.1976)
Ini adalah dari kemuliaan Allah bagi kita dengan
Ia berikan kepada kita berpuasa satu hari sebagai penghapusan dosa-dosa selama
satu tahun penuh, dan Allah Ta’ala Maha mempunyai kemuliaan yang sangat agung.
Hari apakah hari ‘Asyura-’?
An Nawawi rahimahullah berkata: “Kata ‘Asyura-’
dan Tasu’a-’ adalah dua nama yang dipanjangkan, inilah yang masyhur di
kitab-kitab bahasa. Para shahabat kami berkata: ” ‘Asyura-’ adalah hari ke
sepuluh dari bulan al Muharram dan Tasu’a-’ adalah hari kesembilan darinya…
begitulah pendapat jumhur ulama … dan begitulah maksud yang terlihat jelas dari
beberapa hadits dan ketentuan dari muthlak lafadznya, dan dialah yang dikenal
oleh para ahli bahasa. (lihat kitab Majmu’ karya an Nawawi)
Ia adalah istilah yang ada dalam Islam tidak
dikenal zaman jahiliyah. (lihat kitab Kasysyaful Qina’ juz:2, puasa muharram ).
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: ” ‘Asyura-’
adalah hari kesepuluh dari bulan Al Muharram, dan ini adalah pendapat Sa’id Bin
Musayyib dan Hasan rahimahumallah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:
أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَوْمِ عَاشُورَاءَ يَوْمُ الْعَاشِرِ. (رواه
الترمذي)
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam memerintahkan untuk berpuasa hari ‘Asyura-’ hari kesepuluh dari bulan
Muharram”. Hadits riwayat Tirmidzi, beliau berkata: “Hadits ini hasan shahih”.
Dianjurkan puasa Tasu’a-’ dan ‘Asyura-’
Dianjurkan puasa Tasu’a-’ dan ‘Asyura-’
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قال: حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ
إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ
الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
(رواه مسلم:1916 )
Artinya: “Abdullah Bin Abbas radhiyallahu
‘anhuma meriwayatkan, beliau berkata: “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura-’ dan memerintahkan (umatnya) untuk
berpuasa pada hari itu, mereka berkata: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan orang-orang Yahudi dan
Nashrani, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila
datang tahun depan, jika Allah menghendaki maka kita akan berpuasa pada hari
kesembilan”, beliau (Abdullah Bin Abbas) radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Dan
tidaklah datang tahun depan hingga datangnya wafat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam”. (Hadits riwayat Muslim, no. 1916)
Imam Syafi’ie rahimahullah , para shahabatnya,
Imam Ahmad dan Ishaq rahimahumallah serta yang lainnya berkata: “Dianjurkan
berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh keduanya, karena Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari kesepuluh dan telah berniat
berpuasa pada hari kesembilan.
Dengan penjelasan diatas maka berpuasa pada hari
‘Asyura-’ ada beberapa tingkatan: “Yang paling rendah adalah berpuasa 1 hari
(kesepuluh saja), diatasnya berpuasa pada hari kesembilan bersamanya dan tiap
kali memperbanyak berpuasa pada bulan Muharram maka itu yang lebih utama dan
lebih baik.
Hikmat dari penganjuran
berpuasa pada hari Tasu’a-’
An Nawawi rahimahullah berkata: “Para ulama dari
sahabat kami dan yang lainnya menyebutkan hikmah di dalam penganjuran puasa
hari Tasu’a-’, ada beberapa macam:
·
Yang
pertama: bahwa maksud darinya adalah menyelisihi orang-orang Yahudi ketika
mereka hanya mencukupkan hanya hari kesepuluh.
·
Yang
kedua: bahwa maksud darinya adalah menyambung hari ‘Asyura-’ dengan berpuasa
(pada hari sebelumnya), sebagaimana dilarang untuk berpuasa pada hari jum’at
secara sendirian, kedua pendapat ini disebutkan oleh al Khaththabi dan yang
lainnya.
·
Yang
ketiga: benar-benar menjaga untuk berpuasa pada hari kesepuluh, karena
ditakutkan awal bulan terlalu kecil atau terjadi kesalahan (dalam penglihatan
awal bulan-pent), maka hari kesembilan di dalam jumlah sebenarnya hari
kesepuluh ketika itu.
·
Dan
jawaban yang paling kuat adalah menyelisihi ahli kitab, Syaikhul Islam
rahimahullah berkata: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah
melarang untuk menyerupakan diri dengan ahli Kitab di dalam hadits-hadits yang
banyak, seperti sabda beliau:
لَئِنْ عِشْتُ إِلَى قَابِلٍ
لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
Artinya: “Sungguh jika aku masih hidup pada
tahun depan maka sungguh aku akan benar-benar berpuasa pada hari kesembilan.”
(Lihat kitab al-Fatawa al-Kubra juz 6, saddudz dzra-I’ al Mufdiyah)
Hukum berpuasa hari ‘Asyura-’
saja:
Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Berpuasa pada
hari ‘Asyura-’ sebagai penghapus dosa selama 1 tahun dan tidak dimakruhkan
untuk mengkhususkannya dengan berpuasa… (al Fatawa al Kubra juz 5). Dan di
dalam kitab Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar al Haitamy rahimahullah
disebutkan: dan hari ‘Asyura-’ tidak mengapa berpuasa pada hari itu saja…
(lihat juz3, bab puasa sunnah).
Boleh berpuasa pada hari
‘Asyura-’ walaupun hari itu hari Sabtu atau Jum’at
Telah ada riwayat tentang larangan berpuasa pada
hari Jum’at secara tersendiri dan larangan tentang berpuasa pada hari Sabtu
kecuali puasa wajib, tetapi hilang kemakruhannya jika ia berpuasa pada dua hari
ini dengan menggambungkan satu hari ke setiap dari keduanya atau bertepatan
dengan kebiasaan yang disyari’atkan seperti berpuasa 1 hari dan berbuka 1 hari atau
berpuasa sebagai nadzar atau puasa qadha-’ atau puasa yang dianjurkan oleh
agama seperti puasa hari Arafah dan hari ‘Asyura-’… (lihat kitab Tuhfatul
Muhtaj, juz 3 bab puasa sunnah dan kitab Musykilul Aatsar, juz 2, bab puasa
hari Sabtu).
Al Bauhuti rahimahullah berkata: “Dan
dimakruhkan bersengaja berpuasa pada hari Sabtu disebabkan oleh hadits Abdullah
Bin Busyr dari saudara perempuannya:
لَا تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ
إِلَّا فِيمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ.
Artinya: “Dan janganlah kalian berpuasa hari
Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan bagi kalian”. Hadits riwayat Ahmad dengan
sanad yang baik dan Imam hakim, beliau berkata: “Hadits ini berdasarkan syarat
shahih Bukhari. Dan dikarenakan ia adalah hari yang dimuliakan oleh orang-orang
Yahudi, karena pengkhususan berpuasa pada hari itu saja ada persamaan dengan
mereka… ( kecuali apabila bertepatan ) hari Jum’at atau hari Sabtu ( biasanya)
seperti bertepatan dengan hari Arafah atau hari ‘Asyura-’ dan merupakan
kebiasaannya berpuasa pada kedua hari itu maka tidak dimakruhkan, karena suatu
adat mempunyai pengaruh di dalam hal tersebut”. (Lihat kitab Kasysyaful Qina’
juz2, bab Puasa sunnah)
Apakah yang harus dikerjakan
apabila hilal (awal bulan) belum jelas??
Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Dan Jika awal
bulan masih samar maka ia berpuasa tiga hari, dan sesungguhnya ia kerjakan
demikian agar ia yakin pada hari kesembilan dan kesepuluhnya ( kitab al Mughni
karya Ibnu qudamah juz 3, shiyam – shiyam bulan ‘Asyura-’)
Barang siapa yang belum mengetahui masuk awal
bulan Muharram dan ia ingin berhati-hati untuk hari kesepuluh maka hendaklah ia
menggenapkan bulan Dzulhijjah 30 hari sebagaimana kaidah yang dikenal kemudian
ia bepuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh. Dan barang siapa yang
menginginkan berhati-hati pada hari kesembilannnya juga maka ia berpuasa pada
hari kedelapan dan kesembilan dan kesepuluh ( kalau seandainya Dzulhijjah
sebenarnya kurang (dari 30) maka ia telah mendapatkan hari kesembilan dan
kesepuluh dengan yakin). Dan mengingat bahwa berpuasa pada hari ‘Asyura-’
dianjurkan dan tidak diwajibkan maka manusia tidak diperintahkan untuk
benar-benar memperhatikan awal bulan sebagaimana mereka diperintahkan untuk
benar-benar awal bulan Ramadhan dan Bulan Syawwal.
Puasa
hari ‘Asyura-’, menghapuskan apa??
An Nawawi rahimahullah berkata: “Menghapuskan
dosa-dosa kecil, dan taqdirnya adalah menghapuskan dosa-dosa sipelakunya
seluruhnya kecuali dosa-dosa besar”. beliau rahimahullah berkata juga: “Puasa
hari Arafah sebagai penghapus dosa dua tahun dan puasa ‘Asyura-’ sebagai
penghapus dosa satu tahun dan apabila pengucapan “amin” nya bertepatan dengan
para malaikat maka akan diampunkan baginya dosa-dosanya yang telah… tiap dari
perkara yang disebutkan ini bisa digunakan untuk penghapus dosa, apabila ia
mendapatkan sesuatu yang bisa ia hapuskan dari dosa-dosa kecil maka ia
menghapusnya dan apabila tidak mendapatkan dosa-dosa kecil atau besar maka
dituliskan dengan sebabnya berupa kebaikan-kebaikan, dan diangkat untuknya
beberapa derajat dengan sebab itu. Dan apabila ia mendapatkan satu dosa besar
atau beberapa dosa besar dan tidak mendapatkan dosa-dosa kecil maka kita
harapkan ia bisa meringankan dosa besar”. (lihat kitab al Majmu’ Syarah
Muhadzdzab, juz 6, puasa hari Arafah)
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata: “Dan penghapusan dosa (dari pahala) bersuci, shalat, berpuasa bulan
Ramadhan, puasa hari Arafah dan hari ‘Asyua-’ hanya untuk dosa-dosa kecil saja.
(lihat kitab al Fatawa al Kubra, juz 5 ).
Jangan terpesona dengan pahala
puasa!
Beberapa orang terpesona dengan menyandarkan
pahala puasa hari ‘Asyura-’ atau hari Arafah, sampai-sampai sebagian dari
mereka berkata: “Puasa hari ‘Asyura-’ menghapuskan seluruh dosa-dosa dalam satu
tahun itu, dan tersisa puasa hari Arafah bonus di dalam pahala.”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Orang yang
terperdaya ini tidak menyadari bahwa puasa bulan Ramadhan dan shalat wajib lima
waktu lebih agung dan lebih tinggi dari berpuasa pada hari Arafah dan hari
‘Asyura-’ dan ia (shalat lima waktu dan puasa bulan Ramadhan) menghapuskan
dosa-dosa diantara keduanya apabila ia menghindari dosa-dosa besar. Puasa
Ramadhan ke puasa Ramadhan, shalat Jum’at ke shalat Jum’at tidak berfungsi
untuk menghilangkan dosa-dosa kecil kecuali dengan menggabungkan kepadanya
penjauhan akan dosa-dosa besar dan akhirnya gabungan dari dua perkara ini
berkekuatan untuk menghapuskan dosa-dosa kecil. Dan dari orang-orang yang
terlena ada yang mengira bahwa keta’atannya lebih banyak dari
perbuatan-perbuatan maksiatnya, karena ia tidak menghisab dirinya akan
kesalahan-kesalahannya dan tidak mencri-cari akan dosa-dosanya, sedangkan
apabila ia telah mengerjakan satu keta’atan maka ia akan menghapalnya dan
menghitungnya seperti orang yang beristighfar dengan lisannya atau bertasbih di
dalam satu hari 100 kali, kemudian ia menggunjing kaum muslimin dan
merobek-robek kehormatannya dan ia ridhai di sepanjang harinya,Uberbicara
dengan sesuatu yang tidak Allah maka
orang ini selalu melihat keutamaan bertasbih, bertahlil dan tidak menoleh
kepada apa yang diriwayatkan dari ancaman bagi orang-orang penggunjing,
pendusta dan pengadu domba serta selain daripada itu yang berupa
penyakit-penyakit lisan, dan hal demikian itu adalah benar-benar penipuan.
(lihat kitab al Mausu’ah al Fiqhiyah, juz 31, ghurur)
Berpuasa hari ‘Asyura-’ dalam
keadaan masih punya tanggungan dari puasa Ramadhan
Para Ahli Fiqh berbeda pendapat di dalam hukum
mengerjakan puasa sunnah sebelum mengqadha-’ puasa Ramadhan, Madzhab Hanafy
berpendapat diperbolehkan berpuasa sunnah sebelum mengqadha-’ puasa Ramadhan
tanpa ada kemakruhan dikarenakan menggantinya tidak wajib dengan segera dan
madzhab Maliky dan Syafi’i berpendapat diperbolehkan berpuasa dengan kemakruhan
dikarenakan akan menta’khirkan suatu yang wajib. Ad Dasuqy berkata:
“Dimakruhkan berpuasa sunnat atas siapa yang mempunyai tanggungan puasa wajib
seperti orang yang bernadzar, puasa qadha, puasa sebagai (kaffarah) penebus
sesuatu, baik puasa sunnah yang ia dahulukan dari puasa wajib itu tidak
ditekankan atau ditekankan, seperti puasa ‘Asyura-’, puasa tanggal 9 dari bulan
Dzulhijjah menurut pendapat yang lebih utama. Dan Madzhab Hanbali berpendapat
akan keharaman puasa sunnah sebelum mengqadha-’ puasa Ramadhan dan tidak sahnya
berpuasa sunnah waktu itu walaupun masih panjang waktu untuk mengqadha-’. Dan
diharuskan untuk memulai dengan mengerjakan yang wajib sampai ia selesai
mengqadha-’nya (lihat kitab al Mausu’ah al Fiqhiyah juz 28:puasa sunnah)
Maka dari itu hendaklah seorang muslim bersegera
mengqadha-’ setelah bulan Ramadhan agar memungkinkannya untuk mengerjakan puasa
Arafah Dan ‘Asyura-’ tanpa ada kesulitan, dan apabila ia berpuasa hari Arafah
dan hari ‘Asyura-’ dengan niat dari malam hari mengqadha-’ maka hal yang
demikian itu telah mencukupi di dalam pengqadha-’an puasa yang wajib.
Bid’ah-bid’ah pada hari
‘Asyura-’
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
ditanya tentang perbuatan yang dikerjakan manusia pada hari ‘Asyura-’ seperti
bercelak, mandi, memakai pacar, saling bersalaman, memasak biji-bijian dan
memperlihatkan kesenangan serta yang lainnya… Apakah yang demikian itu ada
dasarnya atau tidak?
Dijawab: “Segala puji milik Allah Rabb semesta
alam, tidak ada di dalam hal ini satu riwayat hadits shahihpun dari Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak juga dari para shahabatnya, tidak
dianjurkan pula oleh satupun dari para Imam yang empat akan hal tersebut, tidak
pula dari selain mereka dan para pengarang kitab-kitab mu’tabar (terpandang)
juga tidak meriwayatkan sesuatupun dalam hal ini dan tidak dari riwayat Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan dari para shahabat, juga dari
tabi’in, tidak ada dari hadits yang shahih, tidak juga dari hadits yang lemah.
Tetapi sebagian orang-orang generasi terakhir telah meriwayatkan dalam perkara
ini beberapa hadits, seperti apa yang mereka riwayatkan bahwa; “Barangsiapa
yang bercelak pada hari ‘Asyura-’ maka ia tidak akan pedih matanya pada tahun
itu”, dan “Barang siapa yang mandi pada hari ‘Asyura-’ maka ia tidak akan sakit
pada tahun itu” dan yang semisal dengan itu… dan bahkan mereka telah
meriwayatkan sebuah hadits palsu mendustakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam: “Bahwasanya barang siapa yang bermurah atas keluarganya pada hari
‘Asyura-’ maka Allah Akan melapangkan rizqinya sepanjang tahun”. Dan seluruh
riwayat-riwayat ini tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
bohong.
Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan secara
ringkas apa yang telah terjadi pada awal mula umat ini berupa
kekacauan-kekacauan, kejadian-kejadian dan terbunuhnya Husain radhiyallahu
‘anhuma serta apa yang dikerjakan oleh beberapa kelompok disebabkan hal itu,
beliau juga berkata: “Lalu timbullah kelompok yang bodoh dan zhalim, baik itu
kelompoknya orang mulhid munafik atau kelompok sesat yang berlebihan yang memperlihatkan
kecintaan kepadanya dan kepada Ahlu Bait, kelompok tersebut menjadikan hari
‘Asyura-’ sebagai hari berkabung, kesedihan dan ratapan. Dan kelompok itu
memperlihatkan di dalam hari itu syi’ar-syi’ar orang-orang jahiliyah berupa
pemukulan wajah, pengrobekan kantong-kantong baju, dan bertakziyah bak layaknya
orang jahiliyah… dan mensenandungkan kashidah-kashidah kesedihan, menceritakan
riwayat-riwayat yang di dalamnya terdapat penuh dengan kebohongan. Dan tidak
ada kejujuran di dalam peringatan ini kecuali saling berganti tangis,
fanatisme, penyebaran kebencian dan perperangan, menyebarkan fitnah diantara
umat Islam, menjadikan hal yang demikian itu untuk mencaci para sahabat yang
lebih dahulu masuk Islam…kesesatan dan bahaya mereka terhadap umat Islam tidak
bisa dihitung oleh orang yang fasih di dalam berbicara, sedangkan yang
menentang mereka ada beberapa kelompok, baik itu dari orang-orang Nawashib yang
sangat benci terhadap Husein dan Ahlu Bait radhiyallahu ‘anhum atau dari
orang-orang bodoh yang melawan kerusakan dengan kerusakan, kebohongan dengan
kebohongan, kejelekan dengan kejelekan, bid’ah dengan bid’ah maka mereka
membuat kabar-kabar palsu di dalam syi’ar-syi’ar kebahagian dan kesenangan pada
hari ‘Asyura-’ seperti bercelak dan memakai pacar, dan banyak memberikan nafkah
kepada keluarga, memasak makanan-makanan tidak seperti biasanya dan seperti
yang lainnya dari pekerjaan yang dikerjakan pada hari-hari raya dan musim-musim
bersejarah. Maka mereka (kelompok kedua-pent) menjadikan hari ‘Asyura-’ sebagai
musim hari raya dan kesenangan sedangkan mereka (kelompok pertama) menjadikan
hari ‘Asyura-’ sebagai hari kesusahan, mereka mendirikan di dalamnya kesedihan
dan kesenangan dan keduanya telah melakukan kesalahan keluar daripada sunnah…
(al Fatawa al Kubra milik Ibnu Taimiyah rahimahullah ).
Ibnu Hajj rahimahullah menyebutkan termasuk dari
perbuatan-perbuatan bid’ah hari ‘Asyura-’ adalah sengaja mengeluarkan zakat di
dalamnya baik itu diakhirkan atau di majukan (dari waktu asalnya) dan
mengkhususannya dengan menyembelih ayam dan juga para wanita memakai pacar. (al
Madkhal juz 1, hari ‘Asyura-’).
Kita memohon kepada Allah agar termasuk dari
orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah nabinya yang mulia, dan semoga
kita di hidupkan di atas agama Islam, diwafatkan di atas keimanan, semoga Allah
memberikan kita taufik untuk mengerjakan apa yang Dia cintai dan ridhai. Dan
kita memohon kepada Allah agar menolong kita untuk bisa mengingat-Nya,
bersyukur kepada-Nya, mengerjakan ibadah kepada-Nya dengan baik, menerima (amal
ibadah) dari kita dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang bertakwa dan
merahmati kepada nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan kepada
para keluarga serta seluruh shahabat beliau.
و الله أعلم
و صلى الله على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين
و الحمد لله رب العالمين
و صلى الله على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين
و الحمد لله رب العالمين
Artikel: DakwahSunnah.com publish
kembali oleh Moslemsunnah.Wordpress.com
Komentar
Posting Komentar