Hukum Kartu Kredit Menurut Islam
Kartu kredit (Inggris; credit card, Arab; bithaqah i’timan) yang dalam Islamic finance dikenalkan istilah Islamic card atau shariah card di dunia yang menuju less cash society pada hakikatnya merupakan salah satu instrumen dalam sistem pembayaran sebagai sarana mempermudah proses transaksi yang tidak tergantung kepada pembayaran kontan dengan membawa uang tunai yang beresiko.
Dalam beberapa literatur fiqih kontemporer, status hukumnya sebagai objek atau media jasa kafalah (jaminan) yang disertai talangan pembayaran (qardh) serta jasa ijarah untuk kemudahan transaksi. Perusahaan perbankan dalam hal ini yang mengeluarkan kartu kredit (bukti kafalah) sebagai penjamin (kafil) bagi pengguna kartu kredit tersebut dalam berbagai transaksi. Oleh karena itu berlaku di sini hukum kafalah, qardh dan ijarah. Sementara dalam ketentuan Umum fatwa Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 54/DSN-MUI/X/2006, tentang Syariah Card (Bithaqah I’timan/Credit Card) yang dimaksud dengan Syariah Card adalah kartu yang berfungsi seperti Kartu Kredit yang hubungan hukum (berdasarkan sistem yang sudah ada) antara para pihak berdasarkan prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam fatwa.
Para ulama membolehkan sistem dan praktik kafalah dalam muamalah berdasarkan dalil al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Allah berfirman: “dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf:72). Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “za’im” dalam ayat tersebut adalah “kafil”. Sabda Nabi saw.: “az-Za’im Gharim” artinya; orang yang menjamin berarti berutang (sebab jaminan tersebut). (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Hibban). Ulama sepakat (ijma’) tentang bolehnya praktik kafalah karena lazim dibutuhkan dalam muamalah. (Lihat, Subulus Salam, III/62, Al-Mabsuth, XIX/160, Al-Mughni, IV/534, Mughnil Muhtaj, II/98).
Kafalah pada dasarnya adalah akad tabarru’ (suka rela/voluntary) yang bernilai ibadah bagi penjamin karena termasuk kerjasama dalam kebajikan (ta’awun ‘alal birri), dan penjamin berhak meminta gantinya kembali kepada terutang, sepantasnyalah ia tidak meminta upah atas jasanya tersebut, agar aman/jauh dari syubhat. Tetapi kalau terutang sendiri yang memberinya sebagai hadiah atau hibah untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya, maka sah-sah saja. Namun demikian, jika penjamin sendiri yang mensyaratkan imbalan jasa (semacam uang iuran administrasi kartu kredit dan sebagainya) tersebut dan tidak mau menjamin dengan sukarela, maka dibolehkan bagi pengguna jasa jaminan memenuhi tuntutan tersebut bila diperlukan seperti kebutuhan yang lazim dalam perjalanan studi, transaksi bisnis, kegiatan sosial, urusan pribadi dan sebagainya.Dalam beberapa literatur fiqih kontemporer, status hukumnya sebagai objek atau media jasa kafalah (jaminan) yang disertai talangan pembayaran (qardh) serta jasa ijarah untuk kemudahan transaksi. Perusahaan perbankan dalam hal ini yang mengeluarkan kartu kredit (bukti kafalah) sebagai penjamin (kafil) bagi pengguna kartu kredit tersebut dalam berbagai transaksi. Oleh karena itu berlaku di sini hukum kafalah, qardh dan ijarah. Sementara dalam ketentuan Umum fatwa Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 54/DSN-MUI/X/2006, tentang Syariah Card (Bithaqah I’timan/Credit Card) yang dimaksud dengan Syariah Card adalah kartu yang berfungsi seperti Kartu Kredit yang hubungan hukum (berdasarkan sistem yang sudah ada) antara para pihak berdasarkan prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam fatwa.
Para ulama membolehkan sistem dan praktik kafalah dalam muamalah berdasarkan dalil al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Allah berfirman: “dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf:72). Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “za’im” dalam ayat tersebut adalah “kafil”. Sabda Nabi saw.: “az-Za’im Gharim” artinya; orang yang menjamin berarti berutang (sebab jaminan tersebut). (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Hibban). Ulama sepakat (ijma’) tentang bolehnya praktik kafalah karena lazim dibutuhkan dalam muamalah. (Lihat, Subulus Salam, III/62, Al-Mabsuth, XIX/160, Al-Mughni, IV/534, Mughnil Muhtaj, II/98).
Secara prinsip kartu kredit tersebut dibolehkan syariah selama dalam prakteknya tidak bertransaksi dengan sistem riba yaitu memberlakukan ketentuan bunga bila pelunasan hutang kepada penjamin lewat jatuh tempo pembayaran atau menunggak. Di samping itu ketentuan uang jasa kafalah tadi tidak boleh terlalu mahal sehingga memberatkan pihak terutang atau terlalu besar melebihi batas rasional, agar terjaga tujuan asal dari kafalah, yaitu jasa pertolongan berupa jaminan utang kepada merchant, penjual barang atau jasa yang menerima pembayaran dengan kartu kredit tertentu.(Lihat, DR. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, vol. V/130-161)
Dengan demikian dibolehkan bagi umat Islam untuk menggunakan jasa kartu kredit (credit card) yang tidak memakai sistem bunga. Namun bila terpaksa atau tuntutan kebutuhan mengharuskannya menggunakan kartu kredit biasa yang memakai ketentuan bunga, maka demi kemudahan transaksi dibolehkan memakai semua kartu kredit dengan keyakinan penuh menurut kondisi finansial dan ekonominya mampu membayar utang dan komitmen untuk melunasinya tepat waktu sebelum jatuh tempo agar tidak membayar hutang. Hal ini berdasarkan prinsip fiqih ‘Saddudz Dzari’ah’, artinya sikap dan tindakan preventif untuk mencegah dari perbuatan dosa. Sebab, hukum pemakan dan pemberi uang riba adalah sama-sama haram berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud bahwa: “Rasulullah saw melaknat pemakan harta riba, pembayar riba, saksi transaksi ribawi dan penulisnya.” (HR. Bukhari, Abu Dawud
DSN-MUI dalam fatwanya menetapkan hukum bahwa Syariah Card dibolehkan, dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam fatwa. Ketentuan Akad yang digunakan dalam Syariah Card adalah; a. Kafalah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penjamin (kafil) bagi Pemegang Kartu terhadap Merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara Pemegang Kartu dengan Merchant, dan/atau penarikan tunai dari selain bank atau ATM bank Penerbit Kartu. Atas pemberian Kafalah, penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah kafalah). b. Qardh; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah pemberi pinjaman (muqridh) kepada Pemegang Kartu (muqtaridh) melalui penarikan tunai dari bank atau ATM bank Penerbit Kartu. c. Ijarah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penyedia jasa sistem pembayaran dan pelayanan terhadap Pemegang Kartu. Atas Ijarah ini, Pemegang Kartu dikenakan membership fee.
DSN-MUI mengatur batasan penggunaan Syariah Card sebagai berikut ; a. Tidak menimbulkan riba, b. Tidak digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai dengan syariah, c. Tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan (israf), dengan cara antara lain menetapkan pagu maksimal pembelanjaan, d. Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya, e. Tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syariah.
Fatwa tersebut dikeluarkan dengan pertimbangan bahwa dalam rangka memberikan kemudahan, keamanan, dan kenyamanan bagi nasabah dalam melakukan transaksi dan penarikan tunai, Bank Syariah dipandang perlu menyediakan sejenis Kartu Kredit, yaitu alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan atau untuk melakukan penarikan tunai, di mana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban pembayaran tersebut pada waktu yang disepakati secara angsuran. Selain itu, Kartu Kredit yang ada menggunakan sistem bunga (interest) sehingga tidak sesuai dengan prinsip Syariah dan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas kartu yang sesuai Syariah, Dewan Syariah Nasional MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang Syariah Card yang fungsinya seperti Kartu Kredit untuk dijadikan pedoman.
Ketentuan kartu kredit ini merujuk kepada beberapa dalil di antaranya sebagai berikut; Firman Allah SWT, antara lain: “Hai orang yang beriman! Penuhilah aqad-aqad itu…” QS. al-Maidah [5]:1. Selain itu QS. al-Isra’ [17]: 34, QS. Yusuf [12]: 72, QS. al-Maidah [5]: 2, al-Furqan [25]: 67, QS. Al-Isra’ [17]: 26-27, QS. al-Qashash [28]: 26, QS. al-Baqarah [2]: 275, QS. al-Nisa’[4]: 29, QS. al-Baqarah [2]: 282, QS. al-Baqarah [2]: 280.
Demikian pula merujuk kepada Hadits Nabi s.a.w. antara lain: “Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR Tirmidzi), “Tidak boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri maupun orang lain.” HR. Ibnu Majah dan al-Daraquthni, “Telah dihadapkan kepada Rasulullah s.a.w. jenazah seorang laki-laki untuk dishalatkan. Rasulullah bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’ Sahabat menjawab, ‘Tidak’. Maka, beliau menshalatkannya. Kemudian dihadap-kan lagi jenazah lain, Rasulullah pun bertanya, ‘Apakah ia mempunyai utang?’ Mereka menjawab, ‘Ya’. Rasulullah berkata, ‘Shalatkanlah temanmu itu’ (beliau sendiri tidak mau menshalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata, ‘Saya menjamin utangnya, ya Rasulullah’. Maka Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut.” HR. Bukhari, “Za’im (penjamin) adalah gharim (orang yang menanggung utang)”. HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibn Hibban, “Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.” HR. Abu Dawud, “Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.” HR. Abd ar-Razzaq, “Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” HR. Muslim, “…Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezhaliman…” HR. Jama’ah, “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu, menghalalkan harga diri dan memberikan sanksi kepadanya.” HR. Nasa’i, Abu Daud, Ibn Majah, dan Ahmad, dan “Orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling baik dalam pembayaran utangnya.” HR. Bukhari
Kaidah Fiqh yang menjadi dasar fatwa antara lain: a. “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” b. “Kesulitan dapat menarik kemudahan.” c. “Keperluan dapat menduduki posisi darurat.” d. “Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan syariat).” e. “Menghindarkan kerusakan (kerugian) harus didahulukan (diprioritaskan) atas mendatangkan kemaslahatan.” Selain itu, keputusan fatwa tersebut diambil setelah mempelajari pendapat fuqaha’ dan fatwa di dunia internasional antara lain Imam al-Dimyathi dalam kitab I’anah al-Thalibin, jilid III, hal. 77-78, Khatib Syarbaini dalam kitab Mughni al-Muhtaj, jilid III, hal. 202, As-Syirazi dalam kitab al-Muhadzdzab, juz I, Kitab al-Ijarah, hal. 394, Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnah, jilid 4, hal. 221-222, Mushthafa ‘Abdullah al-Hamsyari sebagaimana dikutip oleh Syaikh ‘Athiyah Shaqr, dalam kitab Ahsan al-Kalam fi al-Fatawa wa al-Ahkam, jilid 5, hal. 542-543: “Letter of Credit (L/C).
Adapun fatwa lain yang menjadi rujukan adalah Keputusan Hai’ah al-Muhasabah wa al-Muraja’ah li-al-Mu’assasah al-Maliyah al-Islamiyah, Bahrain, al-Ma’ayir al-Syar’iyah Mei 2004: al-Mi’yar al-Syar’i, nomor 2 tentang Bithaqah al-Hasm wa Bithaqah al-I’timan. Demikian pula Fatwa-fatwa DSN-MUI terkait yaitu a. No. 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah, b. No.11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah, c. No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran, d.No.19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Qardh; e.No.43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ta’widh. Sebagai perbandingan dapat pula dilihat fatwa terkait kartu kredit yang dikeluarkan oleh Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Fatwa Nomor, 3675, 5832, dan Pertanyaan ke-1 dari Fatwa Nomor 7425.
Saat ini sampai posisi Mei 2009, perkembangan kartu kredit syariah atau shariah card yang sudah dikenalkan di Indonesia dengan mengikuti fatwa DSN-MUI antara lain adalah Dirham Card yang diterbitkan oleh Bank Danamon Syariah dan Hasanah Card yang diterbitkan oleh Bank BNI Syariah. Dalam kondisi sementara dan alasan tertentu dari kebutuhan transaksional di antaranya kepraktisan one bill statement, penggunaan kartu kredit konvensional untuk transaksi yang halal termasuk pembayaran zakat maupun biaya ibadah lainnya dengan disertai komitmen pemegangnya untuk dapat melunasi tagihan sebelum jatuh tempo agar terhindar dari pembayaran bunga tidak melanggar syariah, meskipun tetap dianjurkan untuk menggantinya dengan shariah card yang ada bila memungkinkan. Islamisasi dan memanfaatkan teknologi dan sistem pembayaran modern seperti ini menjadi bukti bahwa Islam merupakan ajaran yang rahmatan lil ‘alamin, pembawa kemudahan dan kebaikan bagi semua. Wallahu A’lam.
Oleh: Dr. Setiawan Budi Utomo - Dkwtn
Komentar
Posting Komentar